Dalam bahasa Arab, judi sering disebut dengan istilah maysir (المَيْسِر). Al-Quran 3 kali menyebutkan kata maysir dengan makna judi.
Namun di dalam hadits nabawi, istilah judi lebih sering disebut dengan nama permainannya seperti nard (النَّرْد) dan syathranj (الشَّطْرَنج). Keduanya adalah permainan yang populer di Persia, sehingga namanya pun menggunakan bahasa Persia, yang kemudian diarabkan.
Judi juga sering disebut dengan istilah qimar (القِمَار). Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma mengatakan bahwa maysir itu adalah qimar (القِمَار).
Kalau kita kaitkan antara dalil-dalil dalam hadits nabawi dengan istilah syariah, seringkali penyebutan judi ini berbeda-beda, namun semuanya bermakna satu.
Ibnu Sirin mendefinisikan tentang judi sebagai :
كُلُّ لَعْبٍ فِيْهِ قِمَارٌ مِنْ شُرْبٍ أَوْ صِيَاحٍ أَوْ قِيَامٍ فَهُوَ مِنَ المَيْسِرِ
Semua permainan yang di dalamnya ada qimar, minum, teriak dan berdiri, termasuk judi.
As-Sa'di menyebutkan bahwa definisi judi (maysir) adalah :
كُلُّ المُغَالَباَتِ الَّتِي يَكُونُ فِيْهَا عِوَضٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ
Segala hal yang terkait dengan menang-kalah yang disyaratkan adanya harta pertaruhan dari kedua belah pihak.
Sedangkan Al-Qaradawi mendefinisikan judi sebagai :
كُلُّ ماَ لاَ يَخْلُوا اللاَّعِبُ فِيْهِ مِنْ رِبْحٍ أَوْ خَسَارَةٍ
Segala permainan dimana para pemainnnya akan menang atau kalah (merugi).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 303 ayat (3) mengartikan judi adalah tiap-tiap permainan yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung kepada untung-untungan saja dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemainan.
Termasuk juga main judi adalah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala permainan lain-lainnya.
Dan lain-lainnya pada Pasal 303 ayat (3) diatas secara detil dijelaskan dalam penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
Antara lain adalah rolet, poker, hwa-hwe, nalo, adu ayam, adu sapi, adu kerbau, adu kambing, pacuan kuda dan karapan sapi.
Dari pengertian diatas maka ada tiga unsur agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai judi, yaitu adanya unsur :
1. Permainan atau perlombaan
Perbuatan yang dilakukan biasanya berbentuk permainan atau perlombaan. Jadi dilakukan semata-mata untuk bersenang-senang atau kesibukan untuk mengisi waktu senggang guna menghibur hati. Jadi bersifat rekreatif. Namun disini para pelaku tidak harus terlibat dalam permainan. Karena boleh jadi mereka adalah penonton atau orang yang ikut bertaruh terhadap jalannya sebuah permainan atau perlombaan.
Artinya untuk memenangkan permainan atau perlombaan ini lebih banyak digantungkan kepada unsur spekulatif / kebetulan atau untung-untungan. Atau faktor kemenangan yang diperoleh dikarenakan kebiasaan atau kepintaran pemain yang sudah sangat terbiasa atau terlatih.
Dalam permainan atau perlombaan ini ada taruhan yang dipasang oleh para pihak pemain atau bandar. Baik dalam bentuk uang ataupun harta benda lainnya. Bahkan kadang istripun bisa dijadikan taruhan. Akibat adanya taruhan maka tentu saja ada pihak yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Unsur ini merupakan unsur yang paling utama untuk menentukan apakah sebuah perbuatan dapat disebut sebagai judi atau bukan.
Dari uraian di atas maka jelas bahwa segala perbuatan yang memenuhi ketiga unsur diatas, meskipun tidak disebut dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1981 adalah masuk kategori judi meskipun dibungkus dengan nama-nama yang indah sehingga nampak seperti sumbangan, semisal PORKAS atau SDSB. Bahkan sepakbola, pingpong, bulutangkis, voley dan catur bisa masuk kategori judi, bila dalam prakteknya memenuhi ketiga unsur diatas.
C. Bentuk Pemainan Masyhur Yang Ternyata Melanggar Syariah Karena Termasuk Judi
Berikut ini adalah praktek yang sering terjadi di tengah masyarakat yang dianggap lumrah dan halal, padahal kalau kita teliti lebih dalam, sebenarnya sudah mengandung unsur-unsur judi yang diharamkan.
1. Jajanan Anak-anak Berhadiah
Salah satu jenis jajanan anak-anak SD di masa lalu adalah tukang jualan kaki lima yang menjual aneka ragam mainan anak-anak. Untuk bisa mendapatkan mainan, tiap anak diharuskan membeli permen yang di dalam bungkusnya ada nomor undian. Kalau nomor itu sesuai dengan nomor yang ada pada suatu mainan, maka dia berhak untuk mendapatkan mainan tersebut.
Maka berlombalah anak-anak untuk membeli permen, dengan harapan di dalam bungkusnya ada nomor undian keberutungan.
Lalu dimana letak judinya?
Letaknya ada pada harga permen yang tidak wajar. Seharusnya harga permen itu seratus perak, tetapi karena di dalamnya ada nomor undian, maka harganya dimark-up menjadi sepuluh kali lipat, yaitu seribu rupiah.
Maka pada dasarnya selisih uang 900 rupiah itu tidak lain adalah 'uang taruhan' yang dipasang oleh anak-anak demi untuk berjudi mendapatkan hadiah mainan.
Seandainya harga permen itu wajar, yaitu tetap seratus perak, maka unsur judinya hilang dan praktek itu tidak melanggar ketentuan syariah.
Contoh permainan anak-anak yang juga termasuk memenuhi unsur judi adalah main kelereng. Setiap anak yang mau ikut bermain harus punya modal kelereng untuk dipertaruhkan. Nanti siapa yang paling pandai dalam permainan itu, berhak mengambil kelereng peserta lainnya.
Meski pun nilai kelereng tidak seberapa, namun pada hakikatnya bentuk permainan itu adalah sebuah perjudian.
Lain halnya bila permainan ini disepakati di awal hanya sekedar main-mainan, dalam arti kalau ada peserta yang kalah, dia tidak perlu kehilangan kelerengnya, dan yang menang tidak perlu mengambil kelereng milik temannya yang kalah.
3. Yang Kalah Mentraktir
Sebuah perlombaan yang diikuti oleh beberapa peserta bisa juga menjadi ajang perjudian, apabila unsur-unsur perjudian terpenuhi di dalamnya.
Misalnya dua orang berlomba bulu tangkis, dengan kesepakatan siapa yang kalah wajib mentraktir yang memang. Walau pun nilai harga makanan atau minuman itu tidak seberapa, tetapi secara hakikat sesungguhnya unsur-unsur judi sudah terpenuhi.
Maka seharusnya setiap kita waspada agar jangan sampai olah-raga yang tujuannya baik, bisa terkotori hanya gara-gara kita kurang memahami hakikat dari perjudian.
4. Lomba Tujuhbelasan
Sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia secara merata setiap merayakan hari proklamasi kemerdekaan negara, untuk diadakan aneka macam lomba. Ada banyak lomba yang sering digelar, mulai dari olah raga, panjat pinang, tusuk jarum, tarik tambang, memasak, dan seterusnya.
Tujuannya tentu mulia, yaitu untuk mendapatkan kemeriahan, selain juga untuk menjadi sarana keakraban antar warga, baik yang ikutan lomba atau pun sekedar menjadi penonton.
Namun terkadang masuk juga unsur judi dalam lomba-lomba rakyat itu. Misalnya apabila dari 20 peserta lomba ditarik uang administrasi masing-masing sebesar 100 ribu, maka akan terkumpul dari uang sebesar 2 juta rupiah. Apabila hadiah yang diperebutkan peserta dibeli dari uang adminstrasi itu, maka uang itu menjadi uang taruhan. Dan pada hakikatnya praktek seperti ini adalah sebuah perjudian.
Namun bila hadiah yang dijanjikan buat peserta yang menang tidak diambilkan dari uang administrasi para peserta, misalnya dari sumbangan para sponsor, atau dari hasil penjualan tiket penonton dan sebagainya, maka prinsip judi menjadi hilang.
Dan sebenarnya masih banyak lagi kalau mau kita telurusi, namun kita cukupkan dulu sampai disini, walhamdulillah.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Start your 7 day free trial